CERPEN KARYA SISWA: CAMILLA

Camilia

          Seorang gadis berambut hitam panjang mengetuk pintu rumah sahabatnya dengan sedikit brutal. Sesekali ia melompat kegirangan sembari melihat kearah ponselnya dan kembali memasang senyum selebar mungkin di wajahnya. Tak perlu menunggu lama, pintu besar di hadapannya terbuka dan menyuguhkan wajah sejuk Nyonya Hanum yang kini sedang terheran-heran memperhatikan Camilia.

          “Ada apa, Camilia?” Alih-alih menjawab pertanyaan Nyonya Hanum, Camilia justru berhamburan ke pelukan wanita paruh baya itu sembari berteriak girang. Baginya, sudah tidak ada jarak untuk menjaga sikap di depan Nyonya Hanum. Camilia tumbuh bersama dengan anaknya dan sudah menganggap Nyonya Hanum sebagai ibunya sendiri. “Hey! Itu ibuku, jangan asal peluk!” celetuk Sean yang tiba-tiba saja datang dan langsung mendapat pukulan ringan dari Camilia.

          “Sean, cepat buka situs penerimaan universitas! Cepat!” sahut Camilia penuh semangat. Gadis itu kemudian mendorong-dorong tubuh Sean sampai lelaki itu tersungkur ke sofa ruang tamunya sendiri. Di sisi lain, Nyonya Hanum juga ikut duduk di samping mereka dengan tatapan gemasnya. Ia tidak bisa berbohong kalau ia juga merasa senang bisa menyaksikan pertumbuhan Camilia dan Sean selama 10 tahun mereka bersahabat. “Bagaimana hasil tesmu? Apa kau lulus?” tanya Nyonya Hanum. “Hasilku akan kuberi tahu setelah Sean melihat hasil tesnya.” Tiba-tiba, Sean berteriak dan kontan membuat kedua wanita yang duduk di sampingnya kini nyaris terjatuh dari sofa.

          “Aku lulus, Bu, Kedokteran!”

          “Apa?”

          Nyonya Hanum dan Camilia sama-sama terdiam setelah Sean berucap seperti itu. Waktu seakan-akan berhenti dan menenggelamkan mereka ke dalam euphoria yang luar biasa. Maksudnya, kedokteran di universitas negeri terbaik Indonesia? Sean mungkin bercanda, kan? Namun, kenyataannya seperti itu yang terjadi.

          “AAA! SELAMAT SEAN!!!” pekik Camilia yang kini berteriak senang sembari memberikan Sean pelukan hangat. Hari ini menjadi hari yang sangat bersejarah bagi Sean dan Camilia. Tentu saja, Camilia juga lulus sebagai mahasiswi baru jurusan seni rupa di universitas yang sama dengan Sean dan itu membuat Nyonya Hanum memutuskan untuk memasak besar-besaran dan mengundang ibunda Camilia untuk makan malam bersama di rumahnya hari ini.

          Pagi ini kampus terlihat lebih ramai dari biasanya. Beruntungnya, dosen Camilia pagi ini tidak hadir untuk mengajar di kampus. Akibatnya, sekarang Camilia bisa duduk santai di kantin fakultas sembari menceritakan semua hal yang ia alami akhir-akhir ini pada Sean, yang dosennya juga tidak hadir mengajar hari ini. Ia menceritakan semuanya mulai dari suasana keseruan ospek tiga bulan yang lalu, mendapat teman baru, sampai Athalla, senior dari Fakultas Seni Rupa yang berusaha mendekatinya. Namun, soal Athalla, Camilia hanya menganggap lelaki itu sebagai senior biasa dan tidak lebih dari itu. Ia ingin fokus belajar dan tidak ingin terikat dengan suatu hubungan asmara untuk saat ini.

          Sean menyimak dengan saksama apa yang sahabatnya itu ceritakan. Menurutnya, saat mendengar Camilia bercerita tentang kesehariannya, hal itu sangat membuat Sean senang dan berkesan. Tak jarang, ia juga membagikan ceritanya kepada Camilia.

          “SERIUS? Kau tidak mengarang cerita, kan? Mendapat nilai tertinggi di Fakultas Kedokteran sangat susah, lho!” seru Camilia dengan histeris. Sementara Sean kini tersenyum kaku karena beberapa orang yang sedang duduk di kantin melihat kearah mereka.

          “Kecilkan suaramu, Camilia.”

          “Ah, maaf,” lirih menyengir kecil. Namun, tak lama gadis itu menarik lengan Sean kuat sehingga sahabatnya itu tertarik mendekat kearahnya. “Kau serius, kan?”  tanya Camilia untuk meyakinkan sekali lagi. Sean memutar bola matanya malas dan langsung menyerahkan kertas ujiannya sebagai bukti pada Camilia. “Baca sendiri kalau tidak percaya. Aku sedang malas berdebat.” Dengan cepat Camilia mengambil kertas itu dan membacanya. Dan benar saja, Sean mendapat nilai tertinggi dengan poin 95. Hal itu membuat Camilia semakin bangga dengan sahabatnya yang cerdas itu.

          Hari berlalu cepat, saat ini Camilia sedang menghela napas kasar berkali-kali. Harinya benar-benar kacau karena dosen yang membuat darahnya mendidih. Bagaimana tidak? Ia harus mengulang lusikannya sebanyak lima kali sore ini. Padahal, menurutnya tidak ada perbedaan yang signifikan dari lukisannya dan sang dosen tak mau memberi tahu letak kesalahan Camilia.

          “Ah!! Aku kesal sekali astaga!” racau Camilia sembari mengacak-acak kertas yang tak berdaya di atas mejanya. Sejak beberapa menit yang lalu, Rumi, teman sebangku Camilia, hanya bisa terdiam di samping gadis itu. Ia ingin sekali mengunci mulut Camilia dan membuang kuncinya ke antartika. Ia tak peduli jika Camilia tidak menemukannya. Rumi hanya ingin gadis itu berhenti mengumpat sekarang juga.

          Biasanya, saat sedang masa sulit seperti ini, Camilia akan mengajak pergi Sean untuk menemaninya rehat sejenak. Entah itu duduk di pinggir danau, minum di sebuah kedai kopi, atau sekadar berjalan santai di tengah ramainya ibu kota. Namun, sejak beberapa minggu ini, lelaki itu tidak menghubunginya sama sekali. Bahkan saat berpapasan di kampus, Sean tidak menyapa Camilia seperti biasa. Camilia berpikir, mungkin Sean sedang sangat sibuk dengan tugasnya, mengingat sahabatnya itu adalah seorang mahasiswa kedokteran.

          Di sisi lain, Sean sedang menahan sakit yang luar biasa. “Sepertinya sudah beberapa minggu belakangan ini perutku nyeri luar biasa. Aku juga selalu merasa mual dan mungkin aku hanya salah makan.”

          “Sean! Kau itu calon dokter! Jangan bertingkah seolah-olah tubuhmu baik-baik saja!” bentak Gio membuat Sean sempat terkejut di tempatnya. Gio akhirnya menghela napas dan memijat pelipisnya. “Dari hasil rontgen-mu, aku menemukan sel tumor di bagian hati. Belum terlambat untuk mengambil tindakan, kita harus melakukan kemoterapi untuk membunuh sel yang tumbuh. Aku khawatir sel tumornya akan berkembang cepat.”

          “Gio…berarti…aku…”

          “Kau mengidap kanker hati, Sean”

          Entah bagaimana ceritanya, tapi semua ini berawal dari Sean yang merawat pasien hepatitis dan dia tidak sengaja tertular oleh jarum suntik yang kotor. Namun, Sean sama sekali tidak merasakan gejalanya. Ia bahkan merasa baik-baik saja sampai saat pagi itu perutnya terasa sangat sakit setelah memakan ramen pedas di kantin kampusnya. Sean mengira perutnya hanya kaget karena ia memakan makanan yang pedas di pagi hari.

          “Jangan beritahu Camilia. Aku yang seperti ini sudah tidak bisa menjaganya dan hanya akan memberinya beban yang berat,” ucap Sean pada Gio dengan senyum tipisnya. Sebenarnya, tanpa sepengetahuan Camilia, ia sering menanyakan kabar sahabatnya itu melalui teman dekatnya. Beruntung, teman dekatnya itu biasa menjaga rahasia penyakit yang ia alami saat ini.

          Hasil diagnosa kanker hati yang diidapnya sangat mengganggu pikirannya. Ini bukan penyakit yang akan sembuh dalam jangka waktu singkat. “Ya Tuhan,” lelaki itu mengusap wajahnya kasar. Ia belum siap meninggalkan Camilia, ibunya, ayahnya. Ia belum mau berpisah dengan semua orang yang ia sayangi dan itu membuat hatinya sangat sakit. Air matanya terjatuh, Sean mengusapnya pelan dan menghela napas seberat mungkin. Untuk saat ini, Sean hanya ingin berdiam diri dan berpikir.

          Satu bulan kemudian…

          Camilia berlari kearah lift dengan panik. Beberapa menit yang lalu, Gio, seniornya Sean,  baru saja menghubungi bahwa Sean akan segera dioperasi. Entah apa yang terjadi, Camilia langsung bergegas ke rumah sakit. Camilia sempat tertegun saat melihat semua orang berkumpul di depan ruang operasi dengan wajah khawatirnya masing-masing. Bahkan orang tua Sean hingga kerabatnya ada di sini.

          “Ada apa ini? Apa yang terjadi pada Sean?” tanyaku berusaha melepas pelukan Ambu dan berjalan cepat kearah orang tua Sean yang kini duduk bersebelahan. Bukannya menjawab pertanyaan, mereka justru mengusap kepala Camilia dengan pelan sehingga membuat air matanya terus mengalir. Orang tua Sean menarik Camilia ke dalam pelukan mereka dan terus mengatakan jika semua akan baik-baik saja.

          “Camilia, kemarilah,” ujar Gio tiba-tiba mengajak Camilia untuk duduk bersamanya. “Ada apa Gio? Apa ada hal yang kalian sembunyikan dariku?” Gio mengangguk, ia lantas menyandarkan punggungnya pada kepala kursi dan menghela napas sejenak. “Sean menyuruhku merahasiakan ini darimu. Tapi keadaannya memburuk dan ibunya memaksaku untuk membiarkanmu ke mari.”

          “Sean mengidap kanker hati dan sudah melakukan kemoterapi selama satu bulan ini. Sayangnya pagi tadi keadaannya makin memburuk. Maka dari itu, hari ini harus segera di opeasi.” Ucap Gio

         “Kenapa…kenapa dia tidak memberitahuku, Gio?”

         “Sean tidak ingin kau khawatir. Aku sudah memaksanya untuk memberitahumu tapi ia bersikeras agar kau membencinya. Dia bilang, lebih baik kau melupakannya daripada harus menangisi kepergiannya nanti. Tapi Camilia, tenanglah. Aku yakin Sean akan baik-baik saja.”

          Camilia menghembuskan berat napasnya. Tangan mungilnya memegangi tangan besar Sean yang dingin. Saat ini, Sean masih berada di ruangan perawatan intensif. Operasinya berjalan dengan lancar beberapa hari yang lalu, hanya saja tubuh Sean masih lemas dan belum sadarkan diri sampai saat ini. Walaupun belum sadarkan diri, Camilia tetap tenang saat mendengar suara detakan jantung Sean. Sangat teratur, tenang, dan lembut.   

          Sebulan kemudian, Sean sudah bisa beraktivitas seperti biasa. Bahkan, ia sudah kembali menyapa dan berbicara dengan Camilia. Ada satu rahasia lagi dari Sean. Ia baru menyadari bahwa perasaannya untuk Camilia bukan hanya sebagai seorang sahabat, melainkan rasa cinta layaknya pria dan wanita. Ya, Sean telah menyukai Camilia sejak sepuluh tahun yang lalu, atau lebih tepatnya cinta pada pandangan pertama. Ia menyukai kepribadian Camilia yang periang dan kreatif. Bahkan, ia rela menghabiskan waktu bersama Camilia apabila gadis itu mengajaknya pergi kemana pun berada.

          Pada hari itu, ia meluapkan semuanya pada sahabat kecilnya itu. Sean bersyukur, tanggapan Camilia sesuai ekspetasi yang ia harapkan. Setelah lulus kuliah, ia berjanji akan melamar Camilia untuk ke jenjang yang lebih serius.

         Pada dasarnya, kita harus berani mengungkapkan perasaan kita terhadap seseorang, baik dengan kekasih, orang tua, bahkan teman sekitar. Karena kita tidak akan tahu apa yang terjadi ke depannya seperti apa. Apabila dipendam, maka akan membuat kita semakin menderita. Sebelum terlambat, curahkan perasaan hati kalian dengan orang di sekitar supaya hati menjadi tenang dan lega, walau tanggapan yang di dapat tidak sesuai ekspetasi kalian.

 

---SELESAI---



BIOGRAFI PENGARANG

          Halo! Perkenalkan, nama saya Weni Haniyah Oktovani atau biasa dipanggil Weni. Saya bersekolah di SMKN 57 Jakarta. Saat ini saya duduk di kelas 11 ULP 2. Kegemaran saya adalah mendengarkan musik dan membaca sebuah novel. Saya juga sering menonton film.  

         Hasil karangan cerpen yang telah saya buat terinspirasi dari salah satu lagu band Indonesia bernama Reality Club. Saya sendiri merupakan penggemar berat band tersebut karena lagunya yang nyaman saat didengarkan, dengan lirik lagu yang sangat relate dengan kondisi para remaja saat ini. Di cerpen ini, saya mengambil inspirasi dari lagu mereka yang berjudul Alexandra. Lagu tersebut menceritakan kekaguman seorang pria terhadap wanita yang bernama Alexandra meski mereka jarang bertemu, dan tidak mampu mengungkapkan perasaannya. Seperti penggalan lagunya, “And if I was a fool for you…I’d wait 500 million hours….” Lagu ini sangat cocok bagi kalian yang jatuh cinta pada seseorang namun rela memendamnya hingga waktu yang lama. 

: tanpa label

Apabila ada yang ingin dikonsultasikan, silakan untuk menghubungi kami.