SIMFONI PERBEDAAN DALAM SATU RAGAM

CABANG LOMBA   : CIPTA CERITA PENDEK

JUDUL CERPEN    : SIMFONI PERBEDAAN DALAM SATU RAGAM

NAMA LENGKAP    : MUHAMMAD RIFKY

NAMA SEKOLAH    : SMKN 57 JAKARTA

PROVINSI                 : DKI JAKARTA


Di bawah bayang-bayang pegunungan Solok yang menjulang, saat kabut pagi masih setia untuk menari dengan syahdunya. Tinggal seorang anak bernama Dimas Pratama yang lahir dari rahim kehilangan dan besar dalam pelukan kesunyian. Dimas menapaki jalan kehidupannya dalam kesunyian yang berkepanjangan selama enam belas tahun lamanya.

Dimas hanya mampu untuk mengenal kedua orang tuanya melalui sebuah foto berwarna hitam dan putih yang berada di dalam bingkai yang tergantung di dinding ruang keluarga. Dimas juga hanya mampu untuk mengenal kedua orang tuanya melalui cerita demi cerita yang disampaikan oleh orang lain ketika bertemu dengan dirinya.

"Wah, kini Dimas alah tumbuah gadang yo. Mukonyo makin lamo makin mirip jo ayahnyo, Iskandar. Apolagi tinggi badannyo, mungkin taun depan akan manang tinggi ayahnyo." (Wah, sekarang Dimas sudah tumbuh besar ya. Mukanya semakin lama semakin mirip seperti dengan ayahnya, Iskandar. Apalagi tinggi badannya, mungkin tahun depan akan mengalahkan tinggi ayahnya.)

"Hidungnyo mancuang yo, samo seperti ibu ang. Apolagi matonyo, sangat mirip jo ibunyo. Warna hitam jo tatapan mato nan tajam." (Hidungnya mancung ya, sama seperti ibu kamu. Apalagi matanya, sangat mirip dengan ibunya. Warna hitam dengan tatapan mata yang tajam.)

Begitulah kata orang-orang ketika bertemu dengan Dimas.

"Sabalun Dimas dilahia di dunia ko, ayahmu alah dahuluan dipangguai Allah untuak baliak ka pangkuan-Nya. Malah sabalun ia sempat manaruih muko ang dan mandanga suara tangih kadatangan ang. Walau pun demikian, Dimas harus ingek bahwa Dimas harus tetap semangat. Buat ayah bangga dari siko." (Sebelum Dimas dilahirkan di dunia ini, ayahmu sudah lebih dulu dipanggil oleh Allah untuk kembali ke pangkuan-Nya. Bahkan sebelum ia sempat untuk melihat wajahmu dan mendengar suara tangis kedatanganmu. Walaupun demikian,

Dimas harus ingat bahwa Dimas harus tetap semangat. Buat ayah bangga dari sini.) begitu kata Mak Etek, seorang perempuan sepuh berselendang songket Minang yang menggantikan posisi dan peranan kedua orang tua Dimas sejak ia masih kecil. Mak Etek selalu menenun kasih untuk Dimas sebagaimana ia menenun lembar demi lembar kain songket setiap harinya.

Mendengar ucapan yang disampaikan oleh Mak Etek, Dimas hanya terdiam sambil menatap langit malam dan bulan purnama dari sela-sela rumah kayu sederhananya. Wajah Dimas tampak kosong, namun matanya menatap dengan dalam seolah ingin mengungkapkan sesuatu dengan langit malam dan bulan purnama itu sendiri.

"Dimas indak pernah mandanga suara ayah ataupun manaruih ruponyo sacaro langsung. Dimas hanya mandanga cerita nan disampaikan dek urang-urang wakatu basuo jo Dimas. Dimas sangat rindu jo ayah. Dimas ingin basuo jo ayah, walau pun hanya dalam mimpi." (Dimas tidak pernah mendengar suara ayah ataupun melihat rupanya secara langsung. Dimas hanya mendengar cerita yang disampaikan oleh orang-orang ketika bertemu dengan Dimas. Dimas sangat rindu dengan ayah. Dimas ingin bertemu dengan ayah, walaupun hanya dalam mimpi.) ucap Dimas dengan suara pelan sambil menahan air matanya.

Mendengar ucapan yang disampaikan oleh Dimas, Mak Etek hanya terdiam sembari menghela napas panjang dan mengelus dahi Dimas dengan tangannya yang penuh kelembutan.

"Dimas, ang harus percaya bahwa ado rencana nan sangat indah nan alah disiapkan Allah kalau ang mampu malalui badai ko. Sabar yo, Nak." (Dimas, kamu harus percaya bahwa ada rencana yang sangat indah yang telah Allah siapkan jika kamu mampu melewati badai ini. Sabar ya, Nak.) jawab Mak Etek dengan tatapan yang mendalam sembari tetap mengelus dahi Dimas dengan penuh kelembutan.

"Ibu juo alah pergi maninggakan Dimas wakatu usia Dimas baru manapaki duo tahun. Balum sempat Dimas mambuek banyak kenangan indah jo ibu. Mak, Dimas rindu baradu dalam dakapan anget ibu. Kadang Dimas suka berpikir, ciek apo Dimas dilahirkan yo ka dunia kalau cuma untuak ditinggakan?" (Ibu juga sudah pergi meninggalkan Dimas saat usia Dimas baru menginjak dua tahun. Belum sempat Dimas membuat banyak kenangan indah dengan ibu. Mak, Dimas rindu tidur dengan pelukan hangat ibu. Kadang Dimas suka berpikir, kenapa

Dimas dilahirkan ya ke dunia kalau cuma buat ditinggal?) tanya Dimas dengan hati yang bergemuruh.

Mak Etek terdiam sejenak mendengar pertanyaan Dimas yang cukup menusuk tersebut. Mak Etek berkata : "Ang hadir di dunia ko, indak untuak ditingga Dimas. Ang dipilih langsung dek Allah. Allah manitipkan ang untuak jadi palito di bumi ko." (Kamu hadir di dunia ini, bukan untuk ditinggal Dimas. Kamu dipilih secara langsung oleh Allah. Allah menitipkan kamu untuk menjadi pelita di bumi ini.)

Dimas tumbuh dalam sunyi yang bersahaja, ia tumbuh dalam doa tulus yang mengalir setiap saban subuh dari seorang perempuan sepuh yang kerap dipanggil Mak Etek. Sejak Dimas mulai mampu untuk mengingat sesuatu, suara lirih yang terucap setiap saban subuh tersebut menjadi lagu pengantar tidurnya setiap malam dan alarm yang membangunkannya setiap pagi.

"Ya Allah... jagaanlah Dimas, cucu hamba, di manapun dia berada. Jauhkanlah dia dari urang-urang nan indak suka jo kahadirannyo, serta nan barencana buruak ka dia. Kuatkanlah hatinyo supaya dia sanggup manarimo katentuan nan Alah tetapkan ka dia..." (Ya Allah... jagalah Dimas cucu hamba di manapun dia berada. Jauhkanlah dia dari orang-orang yang tidak menyukai kehadirannya dan ingin berbuat jahat kepadanya. Kuatkan hatinya agar ia mampu untuk menerima ketentuan yang telah Engkau tetapkan kepadanya...)

Terkadang, Dimas belum benar-benar tidur ketika Mak Etek sedang memanjatkan doa tersebut di atas hamparan sajadahnya. Dimas mendengarkan doa tersebut dengan mata terpejam. Ia menyimpan setiap bait doa yang dipanjatkan tersebut dalam dadanya. Doa yang menjadi pelita, di saat hidup terasa terlalu redup untuk dijalani.

"Terimo kasih Mak atas doanyo, moga-moga doa nan Mak panjatkan saban malam dikabulkan dek Allah. Terimo kasih alah salalu ado untuak Dimas." (Terima kasih Mak atas doanya, semoga doa yang Mak selalu panjatkan setiap malam dikabulkan oleh Allah. Terima kasih sudah selalu ada untuk Dimas) ucap Dimas dalam hati setiap mendengar Mak Etek berdoa untuk dirinya.

Seiring dengan berjalannya waktu, Dimas tumbuh menjadi seorang remaja yang cerdas dan mempunyai rasa cinta dan kebanggaan yang mendalam terhadap kebudayaan. Hatinya

sangat lekat dengan akar kedua orang tuanya yang juga merupakan pencinta dan pelestari budaya Indonesia.

Kecintaan dan kebanggaan Dimas terhadap kebudayaan dapat terlihat ketika irama talempong dan saluang terdengar dari balai desa, ia akan segara menghampiri tempat tersebut, duduk bersila di barisan paling depan, dan mulai menyimak dan menyerap setiap alunan nada yang dimainkan dan lantunan lagu yang dinyanyikan. Tidak jarang, Dimas bersama dengan teman-temannya menirukan gerakan tari rantak dan tari piring di pelataran rumah kayunya meski tanpa properti apapun dan hanya bermodal semangat dan imajinasi.

"Mak, Dimas suka bana jo tari Minangkabau. Sabana gerakannyo punyo makna nan dalam. Dimas ingin ciek macam Ibu, nan mancinto tari tradisi Indonesia jo punyo tekad untuak manggalehkan di kemudian hari. Dimas boleh ngikut jejak Ibu ndak, Mak? Dimas ingin maapal lebih dalam lai tantang tari Minangkabau." (Mak, Dimas sangat suka dengan tarian Minangkabau. Setiap gerakannya penuh dengan pemaknaan yang mendalam. Dimas mau seperti ibu, yang cinta dengan tarian tradisional Indonesia dan bertekad untuk mempelajarinya agar dapat diwariskan di kemudian hari. Dimas boleh mengikuti jejak ibu enggak, Mak? Dimas ingin mempelajari lebih dalam mengenai tarian Minangkabau) ucap Dimas dengan penuh pengharapan agar sekiranya Mak Etek mengizinkan langkahnya untuk mempelajari tarian Minangkabau.

Mak Etek yang sedang memasak ikan pindang kuah kuniang jo gulai pucuak ubi (ikan pindang kuah kuning dan gulai daun singkong muda) di dapur langsung menoleh ke arah Dimas "Tentu boleh Dimas. Mak sangat mandukuang niat jo langkah ang untuak melestarikan tarian Minangkabau. Ayah jo Ibu juo pasti mandukuang niat jo langkah ang dari ateh siana. Nan paling penting, ang jan sampai maninggakan tugas jo tanggung jawab ang sabagai seorang murid." (Tentu boleh Dimas. Mak sangat mendukung niat dan langkah kamu untuk melestarikan tarian Minangkabau. Ayah dan ibu juga pasti mendukung niat dan langkah kamu dari atas sana. Yang terpenting, Dimas jangan sampai meninggalkan tugas dan tanggung jawab Dimas sebagai seorang murid.)

"Terimo kasih Mak atas dukungan Mak ka Dimas. Dimas janji, Dimas akan tetap mamuloan tugas jo tangguang jawab Dimas sabagai murid. Lah tu, baru Dimas akan baraja manari. Dimas ingin, suaru hari nanti, Dimas bisa manampilkan tari Minangkabau ko di

hadapan urang ramai. Dimas mau manampilkan kabudayaan kito nan rancak ko. Doakan Dimas yo, Mak" (Terima kasih Mak atas dukungannya buat Dimas. Dimas janji, Dimas akan tetap mendahulukan tugas dan tanggung jawab Dimas sebagai seorang murid. Setelah itu, baru Dimas akan berlatih menari. Dimas ingin suatu hari nanti, Dimas bisa menampilkan tarian Minangkabau ini di hadapan orang banyak. Dimas mau menampilkan kebudayaan kita yang indah ini. Doakan Dimas ya Mak.) sambung Dimas dengan penuh semangat.

Selain mempelajari tarian Minangkabau, Dimas juga sering ke perpustakaan desa. Berbagai macam buku tua menjadi pelabuhan bagi dirinya. Ia gemar membaca buku tentang sejarah dari setiap suku di Indonesia, tentang legenda dari setiap daerah di Indonesia, tentang kesenian wayang Jawa, tentang ritual adat di Kalimantan, bahkan tentang ritual Kematian di Sulawesi. Setiap lembar buku yang dibacanya seakan seperti menambah warna pada jiwanya.

"Pak Wali, apo sebabnyo banyak urang nan takut jo hadirnyo karak lain? Bukannyo karak lain itu punyo makna nan indah di dalamnyo?" (Pak Wali, kenapa ya banyak orang yang takut dengan adanya kehadiran perbedaan? Bukankah perbedaan itu mempunyai pemaknaan yang indah di dalamnya?) ucap Dimas kepada Wali Nagari.

Wali Nagari lalu tersenyum sembari berkata : "Karano maraka indak manjadi kesempatan untuak manarimo makna dari karak lain sabana dalam. Karak lain tu samo jo bumbu dalam ciek masakan. Tanpa ado bumbu dalam ciek masakan, masakan tu akan tawar." (Karena mereka belum sempat untuk mengenal pemaknaan dari perbedaan secara mendalam. Perbedaan itu sama seperti bumbu dalam sebuah masakan. Tanpa ada bumbu dalam sebuah masakan, masakan tersebut akan hambar.)

Dimas mengangguk pelan, tanda bahwa ia memahami apa yang disampaikan oleh Wali Nagari. Dalam hati, Dimas berkata : "Dimas ingin menjadi seseorang nan mampu memperkenalkan bumbu itu ka banyak urang, supayo maraka samo tahu ‘raso’ Indonesia nan sabana." (Dimas ingin menjadi seseorang yang mampu memperkenalkan bumbu tersebut kepada banyak orang, supaya mereka semua juga mengetahui "rasa" Indonesia yang sesungguhnya.)

Kecintaannya terhadap kebudayaan dan ketekunannya dalam memahami dan mempelajarinya membuat Dimas sering dipercaya oleh Wali Nagari untuk menampilkan tarian Minangkabau di berbagai macam acara adat.

Sekarang bahkan Dimas tidak hanya sekedar memahami dan mempelajari kebudayaan Minangkabau saja, melainkan kebudayaan dari beberapa daerah di Indonesia lainnya. Bagas belajar bahwa keberagaman dan perbedaan bukanlah sebuah ancaman yang harus ditakutkan. Ia adalah ladang subur bagi keharmonisan suatu bangsa, asal disirami dengan pengertian dan dihiasi dengan rasa saling memiliki. Dimas percaya bahwa suara yang berbeda tidak untuk saling mematikan, melainkan untuk saling menyahut dan membentuk sebuah harmoni, seperti banyaknya alat musik dalam satu orkestra.

Setahun kemudian, Dimas lulus dari SMP. Dengan mantap, Dimas memilih untuk melanjutkan pendidikannya di SMK Kebudayaan Solok. SMK Kebudayaan Solok dikenal sebagai sekolah kejuruan terbaikndi bidang kebudayaan. Setiap tahunnya SMK Kebudayaan Solok selalu mencetak peserta didik yang berbakat di bidang kebudayaan. Keputusannya dalam melanjutkan pendidikannya tersebut sempat membuat beberapa temannya bertanyatanya.

"Dimas, alah nan apo ang kau milih masuk ka SMK Kebudayaan Solok? Bukannyo nilai ang waktu di SMP ko tinggi bana? Indak ditambah jo sagalo macam penghargaan dari prestasi akademik nan alah ang capai salamo ciek tigo tahun ko. Jo nilai jo prestasi ang nan ko, ang bisanyo masuk SMA favorit di Solok ko. Ang alah salamo bana yakin untuak milih SMK ko?." (Dimas kenapa kamu memilih untuk masuk SMK Kebudayaan Solok? Bukankah nilaimu selama di SMP ini sangat tinggi? Belum ditambah dengan berbagai macam penghargaan dari prestasi akademik yang telah kau capai selama tiga tahun. Dengan nilai dan prestasi akademikmu tersebut kamu bisa masuk SMA favorit di Solok ini. Apa kamu sudah benar-benar yakin untuk mengambil SMK ini?) tanya Bagas, salah satu sahabat dekatnya di SMP.

Mendengar ucapan yang disampaikan oleh Bagas, Dimas tersenyum sembari berkata : "Awak alah benar-benar yakin, Gas. Keputusan awak untuak masuk SMK Kebudayaan Solok alah bulat." (Aku sudah sangat yakin, Gas. Keputusanku untuk masuk SMK Kebudayaan Solok sudah bulat.)

Ketika Dimas sudah mulai bersekolah di SMK Kebudayaan Solok, semangat Dimas semakin membara. Ia menyerap semua pembelajaran yang disampaikan oleh gurunya dengan sangat antusias. Ia juga aktif untuk mengikuti berbagai macam perlombaan di bidang kebudayaan. Tidak butuh waktu lama, bakatnya semakin terasah dengan baik.

Suatu hari, Dimas mengikuti sebuah Lomba Kebudayaan Tingkat Provinsi Sumatera Barat dan dari perlombaan tersebut Dimas keluar sebagai juara pertama. Kemenangannya tersebut membawanya kepada sebuah kehormatan besar. Ia terpilih secara khusus untuk menjadi perwakilan satu-satunya dari Provinsi Sumatera Barat dalam Festival Ekspresi Seni dan Budaya Nusantara yang akan dilaksanakan di Jakarta dalam waktu dua minggu mendatang.

"Dimas, selamat yo ang jadi satu-satunya peserta nan dapek kesempatan untuak manarimo Sumatera Barat di Festival Ekspresi Seni jo Budayo Nusantara di Jakarta. Ibu bangga bana jo capaian nan alah ang dapek." (Dimas, selamat ya kamu menjadi satu-satunya peserta yang mendapatkan kesempatan untuk mewakili Sumatera Barat pada Festival Ekspresi Seni dan Budaya Nusantara di Jakarta. Ibu sangat bangga atas pencapaian yang telah kamu dapatkan.) ucap Bu Anggi, guru budayanya dengan bangga.

"Saingannya bisa dikato ketek, tapi dewan juri bilang ang punyo aura panggung jo pemahaman budayo nan kuat bana. Ibu sendiri juo percaya, bahwa ang sanggup untuak manggikuti kegiatan iko."(Persaingannya bisa dibilang ketat, tapi dewan juri bilang kamu mempunyai aura panggung dan pemahaman budaya yang sangat kuat. Ibu sendiri juga percaya, bahwa kamu mampu untuk mengikuti kegiatan ini!) sambung Bu Anggi sembari menepuk pundak Dimas tandanya menyemangati.

Hari demi hari menjelang keberangkatan, Dimas semakin berlatih dengan giat. Ia kembali memahami dan mempelajari setiap gerakan pada beberapa tarian Minangkabau, bukan hanya sekedar memahami dan mempelajari gerakan tariannya saja melainkan juga memperdalam filosofi di balik setiap gerakannya.

Ketika hari keberangkatan tiba, Dimas pergi dengan mengenakan pakaian adat Minangkabau dengan penuh rasa kebanggaan. Setibanya di Jakarta, Dimas sangat kagum melihat berbagai macam gedung-gedung pencakar langit. Apalagi pada saat Dimas sampai menuju arena festival yang akan dilaksanakan nanti. Nantinya festival akan dilaksanakan di sebuah gedung megah yang dipenuhi oleh berbagai macam ornamen budaya dari seluruh penjuru Indonesia.

"Indah sekali arenanya, setiap sudut dan sisi benar-benar menggambarkan keberagaman budaya Indonesia." ucap Dimas sambil berdecak kagum.

Kini tiba saatnya pembukaan acara, pembawa acara mulai naik ke atas panggung dan mulai berbicara dengan lantang dan antusias. "Selamat malam dan salam sejahtera untuk kita semua. Saudara-saudara yang saya hormati. Kini tiba saatnya untuk saya mengumumkan pembagian tim yang telah ditentukan oleh para dewan juri untuk penampilan utama dua minggu mendatang dengan tema : Meraih Persatuan melalui Perbedaan Budaya. Nantinya setiap tim akan menampilkan sebuah penampilan kolaborasi kebudayaan di hadapan Presiden Republik Indonesia dan seluruh pejabat tinggi negara!" ucap pembawa acara dengan lantang dan antusias.

Dimas, seorang remaja berusia enam belas tahun yang berasal dari Solok, Sumatera Barat duduk dengan wajah yang tenang namun penuh dengan harap. Ia menunduk sembari memegang erat sebuah buku tua bersampul kulit dengan judul : Perjalanan Kebudayaan Penuh Makna dari Ayah dan Ibu.

Satu demi satu, semua sudah mulai mendapatkan tim nya masing-masing. Kini tibalah saatnya, nama Dimas dipanggil oleh pembawa acara : "Tim Tujuh : Dimas dari Sumatera Barat, Dani dari Jawa Tengah, Ratih dari Jawa Barat, Berta dari Nusa Tenggara Timur, Yohan dari Papua, dan Dayuh dari Kalimantan Selatan."

Setelah mendengar pembagian tim yang disampaikan oleh pembawa acara, Dimas tersenyum tipis. Ia mulai menyapa satu demi satu anggota timnya. Mereka mulai berkenalan antara satu sama lain.

Keesokan harinya, mereka berenam mulai bermusyawarah untuk menentukan dan menyusun konsep penampilan yang akan ditampilkan nantinya. Setelahnya, mereka mulai berlatih setiap hari di aula budaya yang telah disiapkan oleh panitia. Pada minggu pertama, semua tampak berjalan dengan lancar. Namun, ketika mulai memasuki minggu kedua, gesekan antara satu sama lain mulai muncul. Getaran ganjil diantara mereka mulai terasa.

"Sa pikir, tarian tradisional dari Papua seharusnya ditampilkan yang pertama. Gerakannya yang bersemangat dan penuh dengan hentakan. Membuat semua orang yang lihat jadi ikut bersemangat." ujar Yohan dengan tegas.

"Kalau begitu, tarian tradisional Jawa Barat akan terasa tenggelam. Tarian tradisional kamu lembut dan penuh dengan lapisan simbol yang anggun." balas Ratih dengan nada kesal.

"Dua puluh menit adalah waktu yang sebentar. Tidak semua kebudayaan bisa masuk di dalamnya, lebih baik biar kebudayaan ku saja yang ditampilkan." tambah Dayuh.

Diantara Yohan, Ratih, dan Dayuh yang sedang berseteru, datang Dani untuk menengahi, "Sudah, sudah! Kenapa kalian jadi saling bertengkar antara satu sama lain. Kita adalah satu tim, sudah seharusnya kita menjaga kekompakan antara satu sama lain. Budaya bukan soal siapa yang paling menonjol."

Semua terdiam, lalu Yohan berdiri dan berkata dingin "Mungkin memang kita tidak cocok untuk menjadi satu tim. Dari awal kita sudah sangat berbeda."

Ratih dan Dayuh berdiri dan mulai melangkah keluar aula dengan sikap dingin, meninggalkan Berta, Dani, dan Dimas di aula.

Malam setelah kejadian tersebut, Dimas membuka buku Perjalanan Kebudayaan Penuh Makna peninggalan kedua orang tuanya. Di halaman tengah, tertulis sebuah kutipan yang ditulis tangan dengan menggunakan tinta oleh ayah dan ibunya :

"Perbedaan dalam keberagaman itu bukan berarti kita harus menyatukannya agar menjadi sama, melainkan dari perbedaan tersebut kita dapat belajar menari dalam irama yang berbeda tanpa harus menginjak kaki satu sama lain."

"Anak-anakku, jika suatu saat nanti kalian hidup dan tinggal di negeri yang penuh dengan warna. Jangan pernah memaksakan putih di atas merah orang lain. Sebab Indonesia itu adalah pelangi yang indah dengan adanya perbedaan dalam keberagaman, bukan layar kosong."

Tidak terasa, air mata Dimas menetes di pipinya setelah membaca kutipan yang ditulis tangan oleh ayahnya tersebut. Dimas kemudian berencana untuk mengumpulkan temantemannya tersebut dan menunjukkan kutipan yang ditulis oleh ayah dan ibunya tersebut.

Keesokan harinya di aula, Dimas datang sambil membawa buku peninggalan ayah dan ibunya. Dimas berkata kepada teman-temannya : "Dimas tahu bahwa kita semua berasal dari latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda. Tapi bukankah itu semua alasan untuk kita semua dipilih di sini?" ucap Dimas perlahan sembari mulai memperlihatkan kutipan yang ditulis ayah dan ibunya.

Setelah mendengar apa yang disampaikan oleh Dimas dan melihat kutipan yang diberikan oleh Dimas, semuanya menunduk. Dimas menambahkan dengan suara bergetar : "Tapi kita bisa memilih untuk tidak mengulangi kesalahan itu. Kita bisa memilih untuk saling mendengarkan. Bukan untuk saling ingin didengar."

Satu per satu kemudian tersadar, mereka kemudian saling meminta maaf antara satu sama lain dan berpelukan. Kini mereka menyatukan tujuan mereka kembali, berlatih bersama dengan tekun agar bisa menampilkan penampilan yang terbaik.

Kini hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Gedung Agung Budaya sudah mulai dipenuhi oleh para pejabat tinggi negara dan tentu saja Presiden Republik Indonesia. Tim demi tim tampil membawakan penampilannya masing-masing dengan megah. Kini giliran tim Dimas yang akan tampil.

Lampu mulai meredup. Alunan musik tradisional mulai mengalun : irama lembut dari suling Sunda, disambung dengan dentuman tifa Papua, gemerincing gendang Minang, petikan sasando NTT, ketukan kendang Jawa, dan denting bambu Dayak. Penampilan tarian pun dimulai : Yohan menari dengan gerakan yang bersemangat namun sarat akan makna, diikuti oleh Ratih dan Dani dengan lenggak-lenggok klasik Sunda dan Jawa, Dayuh melenggang membawa properti bambu besar berukuran khas Dayak, Berta melantunkan syair legenda dari Flores, dan Dimas membacakan narasi mengenai perbedaan.

Di tengah pementasan, muncul sebuah drama singkat mengenai kisah enam orang dari suku yang berbeda-beda yang berselisih karena perbedaan, namun disatukan oleh sebuah pesan dari sebuah buku tua bersampul kulit.

"Berbeda bukan berarti harus menjauh. Jika kita bisa menari dalam irama yang lain, kita akan tahu betapa indahnya dunia dengan lebih dari satu warna."

Lalu Dimas maju paling depan, diiringi dengan cahaya sorot tunggal. Ia membacakan sebuah puisi hasil tulisannya sendiri :

"Ragam Perbedaan yang Menyatu"

Aku bukan kamu, tapi aku tak ingin menjauh.

Kamu bukan aku, tapi aku ingin terus mendekat.

Dalam merah dan putih, kita sama.

Dalam lagi dan langkah, kita bisa

Wahai Ibu Pertiwi,

lihatlah anak-anakmu berdiri - tak saling seragam, tapi satu dalam ragam.

Satu Indonesia, dalam berjuta wajah cinta.

Suasana yang tadinya hening, berubah menjadi bergemuruh dengan tepukan tangan dari para penonton yang hadir. Kini, tiba saatnya pengumuman pemenang yang akan dibacakan oleh pembawa acara : "Tim terbaik tahun ini yang menunjukkan makna sesungguhnya dari perbedaan dalam keberagaman adalah Tim Tujuh!"

Setelah penampilan yang megah dan disaksikan oleh Presiden Republik Indonesia dan para pejabat tinggi negara, Dimas dan timnya berdiri di atas panggung utama dengan dada yang penuh haru. Tepuk tangan membahana mengiringi nama mereka disebut sebagai Juara Pertama Festival Ekspresi Seni dan Budaya Nusantara. Masing-masing dari mereka berhak untuk mendapatkan hadiah berupa uang tunai sebesar 50 juta rupiah.

Malam itu, bukan hanya kemenangan yang mereka berenam dapatkan. Melainkan sebuah perjalanan hidup yang akan mereka bawa selama-lamanya, bahwa perbedaan dalam keberagaman bukanlah sesuatu hal yang antah diributkan melainkan harus dirayakan.

Setelah selesai acara, Dimas mulai memasukan barang-barangnya ke dalam koper. Dalam benak Dimas, ia ingin segara pulang menemui Mak Etek. Ia sangat tidak sabar untuk memberitahukan hal ini kepada Mak Etek, perempuan yang selama ini menjadi ayah dan ibu

sekaligus penjaga warisan budaya keluarga. Dimas pun berpamitan dengan teman-teman timnya.

Sesampainya di Solok, Dimas langsung pulang ke rumah. Sore itu, Mak Etek sedang duduk di teras sembari menenun kain songket. Dimas kemudian langsung salam dengan Mak Etek dah memeluknya sembari berkata : "Alhamdulillah Mak, Dimas manang di Jakarta." (Alhamdulillah Mak, Dimas menang di Jakarta.)

"Alhamdulillah, Mak bangga bana jo capak-an ang Dimas di Jakarta. Apolai ang alah mambao jo mangenalkan budaya kita ka Jakarta." (Alhamdulillah, Mak sangat bangga dengan pencapaian kamu di Jakarta. Apalagi kamu sudah membawa dan memperkenalkan budaya kita ke Jakarta.) ucap Mak Etek sambil tersenyum bangga.

"Dimas indak bisa mambaliak sagalo juang nan alah Mak barikan untuak Dimas. Sabagai gantinyo, Dimas barancano untuak mambangun sabuah yayasan budaya di kampuang ko jo pitih nan Dimas dapek dari lomba di Jakarta. Dimas baramih langkah ketek Dimas ko bisa malestarikan budaya kita, Mak. Bolehlah, Mak?" (Dimas enggak bisa membalas semua perjuangan yang sudah Mak berikan buat Dimas. Sebagai gantinya, Dimas berencana membangun sebuah yayasan budaya di kampung ini dengan uang yang Dimas dapatkan dari lomba di Jakarta. Dimas berharap langkah kecil Dimas ini bisa melestarikan budaya kita Mak. Apa boleh, Mak?) sambung Dimas dengan penuh harap.

"Bolehlah Dimas, Insya Allah nantik Mak tambuah-an dananyo dari hasia sawah ketek kita tu. Pakai pitih tu untuak mambangun yayasan ang Dimas nantik. " (Boleh Dimas, Insyaallah nanti Mak tambahkan dananya dari hasil sawah kecil kita itu. Pakai uangnya buat bangun yayasan kamu nanti.) ucap Mak Etek sembari menepuk pundak Dimas.

Akhirnya, berkat gabungan hadiah dari lomba di Jakarta dan bantuan penuh cinta dari Mak Etek, Dimas berhasil mendirikan sebuah yayasan budaya kecil yang diberi nama "Rumah Pusako Nusantara." Tempat itu kini menjadi pelita baru di kampungnya, tempat anak-anak berkumpul bukan hanya untuk bermain, tapi juga untuk mengenal jati diri bangsanya melalui budaya.

Di antara dinding-dinding sederhana yang dihiasi oleh anyaman bambu dan ukiran motif Minang, suara saluang dan gamelan berpadu dalam harmoni yang indah. Dimas, yang

dulu hanya seorang anak kampung dengan cita-cita sederhana, kini berdiri sebagai penjaga warisan—menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan.

Bukan hanya budaya Minangkabau yang ia lestarikan, namun juga khazanah budaya dari Sabang sampai Merauke. Ia percaya, bahwa mengenal satu sama lain dalam perbedaan adalah cara paling luhur untuk mencintai Indonesia.

SELESAI

: tanpa label

Apabila ada yang ingin dikonsultasikan, silakan untuk menghubungi kami.