KUMPULAN CERPEN SISWA-SISWI SMKN 57 JAKARTA (CHAPTER 0.1)

SEBELUM SEMUA TERLAMBAT

Anggun Noviyanah

 

Gelap, hanya ada setitik cahaya yang memancar ke dalam kamar. Kamar yang sudah jauh dari kata rapi. Terbangun dari tidur yang sama sekali tidak ia nikmati, kantuk yang masih tersisa serta pikiran yang penuh akan kekacauan. Shabira, seorang anak SMA yang bimbang dengan pikirannya, akankah ia bisa mengabulkan keinginan orangtua serta dirinya sendiri?

Seperti biasa, situasi di saat basah yang merembes sampai kulit, serta buku yang berserakan di lantai. Shabira mendongak, lalu mendengar tawa dan makian beberapa orang dengan wajah tidak senang. Ia bingung, sampai kapan ini akan berlangsung, sampai kapan ini akan terjadi padanya, ia hanya ingin belajar dan menggapai keinginannya, hanya itu. 

Sudah bersih? batinnya berkata. Usai membersihkan baju yang basah dan kotor akibat ulah beberapa teman sekelasnya tadi. Shabira mendapat perundungan dari teman sekelasnya. Perlakuan tak pantas yang selalu ia dapat hanya karena 'kekurangan' yang Shabira miliki

Shabira membuka pintu dengan perlahan, ia melihat di sekeliling. Lalu duduk dengan tenang menunggu guru, seakan tidak ada peristiwa yang terjadi.  Ia menunggu guru sambil membuka lembar demi lembar catatan yang dikerjakannya semalam. Membaca sembari berharap penuh akan ujian kali ini. Ya, hari ini adalah hari pertama ujian serta penentu akan masa depannya, dan penentu akan nasibnya di rumah.

Semenit.

Dua menit.

Sampai tak terasa waktu sudah berjalan setengah jam lamanya, yang menandakan selama itu juga waktu ujian telah dimulai. Kosong. Tak ada apa pun yang tertulis. Kepalanya sakit, lengan yang dilipat di atas meja menjadi tumpuan kepalanya yang terasa begitu berat. 

"Tuhan ...."  Terdengar rintihan terlontar dari bibir Shabira. "Sakit. Pusing ... kumohon ...." Dieratkannya jambakan pada rambutnya yang halus, berharap rasa sakitnya hilang dan semua akan kembali baik-baik saja. Ia mengangkat kepalanya sedikit, menatap nanar kertas kosong di hadapannya. Tak ada satu soal pun yang mampu ia jawab.

**

 

Selesai.

Ujian telah selesai. ia melihat semua orang berkerumun pada papan putih itu, selembar kertas yang terpatri di dinding dengan tulisan serta angka-angka yang mengerikan untuk dilihat. Selangkah dua langkah, ia menarik napas guna menenangkan diri yang tak akan merubah apa pun. Dipandangnya kertas itu, Shabira mulai mencari hingga nama dan nilai hasil kerja keras yang ia lakukan tertampang jelas. itu... jauh dari kata baik. 

**

 

Tatapan tajam serta wajah merah padam ayahnya adalah pemandangan yang tak asing bagi Shabira. Bentakan, pukulan, makian kini terasa begitu sulit baginya.

"TIDAK BERGUNA!" Suara sang ayah menggema. 

Satu tamparan mendarat di pipinya. Shabira diam tertunduk, menahan perih, dan cairan bening menetes tanpa izin. Shabira mendongak sedikit, memberanikan diri menatap sang Ayah dengan pandangan yang nampak kabur.

 "Aku ... tidak berguna, ya?" Ia diam sejenak. "Aku menyusahkan, ya? Aku pantas mendapat ini semua, ayo tampar lebih banyak lagi, Yah, untuk terakhir kalinya ...." Ucapan samar samar itu keluar dari mulut Shabira. Sang Ayah tidak bereaksi, dan pergi begitu saja meninggalkan Shabira, sendirian.

**

 

Hening. 

Hanya ada suara pensil dan kertas yang seakan sedang bercengkrama, Shabira hanya  ditemani dengan boneka beruang berukuran kecil di pangkuannya. ia terpejam, sambil menghela napas panjang, mengingat-ingat masa lalu saat ia masih sering tersenyum dan tertawa lepas. Ah! seulas senyum terpatri di wajah cantiknya.

**

 

"SHABIRA!"  teriak Bunda dari lantai bawah. 

"HEY, SHABIRA CEPAT TURUN!" Lanjut Ayah berteriak.  

Decakan tsk sabar keluar dari mulut sang Ayah, seakan putrinya itu adalah manusia paling menyebalkan dalam hidupnya. Ia naik ke lantai atas, menuju kamar putrinya dengan hentakan kaki yang cukup kuat. Ketukan pintu yang terdengar sangat kencang itu pun menjadi saksi betapa kesal sang Ayah.

"Shabira, perlukah Ayah masuk dan menarik kamu keluar dari kamar?" Ucapan pelan, tetapi terdengar mengintimidasi dari balik pintu itu pun dilontarkan oleh ayahnya Shabira. 

Sunyi, hening.  Tak terdengar suara apa pun dari dalam kamar. 

Sang Ayah membuka pintu dengan kasar. Lalu melihat ke segala penjuru kamar untuk mencari keberadaan putrinya, tetapi ia tidak menemukan siapa pun.

"Shabira!"

"Oh, mau main-main dengan Ayah, ya?" 

Tak ada jawaban. Ayahnya Shabira dengan marah menggeledah kamar putrinya. Namun, yang ia temukan hanyalah secarik kertas berwarna-warni yang telah dihias dengan tulisan di atasnya berada di atas meja. Ada tulisan dengan huruf besar.

UNTUK AYAH, JUGA BUNDA.

Sambil duduk di atas kasur, ayahnya Shabira mulai membaca tulisan tersebut dengan saksama. 

**

Ayah …

Surat ini untukmu dan juga Bunda.

Aku menulis ini ditemani Minnie, boneka beruang yang Ayah berikan saat ulang tahunku yang ke-5

Ayah dan Bunda ingat tidak? Dulu saat libur sekolah, Ayah dan Bunda mengajakku ke danau dekat rumah karena kata Ayah, Ayah pusing dengan pekerjaan ahahaha :D

AKU SENANG! Aku senang berkumpul dengan kalian kala itu. Kita mengobrol banyak hal dan tertawa begitu lepas seakan tak ada hari esok. 

Dan kalian tahu... aku di sini sekarang, hehehe. Aku menanti Ayah dan Bunda datang di tempat terakhir kalian mengajakku keluar, di tempat aku begitu bahagia berkumpul bersama kalian, di tempat aku merasa begitu nyaman dengan kehadiran kalian, dan tahu apa lagi?  Aku akan selamanya di sini. Jadi, kalau Ayah dan Bunda merindukanku cukup datang ke sini, ohh dan jangan lupakan ajak Minnie, yaaa. Hanya Minnie, satu-satunya yang memahami aku, yang menemani aku selama ini.

Sungguh, aku rindu ….

Aku rindu Bunda memelukku saat tidur, mengelus rambut dan menyanyikan lagu dengan suara merdunya untukku. Ayah yang selalu berwajah ceria dan membawa makanan kesukaanku saat pulang kerja, serta membawakan boneka-boneka lucu yang Ayah beli khusus untukku.

Aku ingin merasakannya lagi. Sebelum Ayah naik jabatan lalu sibuk dan mulai melupakan aku. Sebelum Bunda ditertawakan teman-temannya saat nilaiku paling rendah dari anak-anak mereka. Sebelum Ayah dan Bunda memiliki masalah di dalam hubungan pernikahan kalian. Sebelum aku …. Ya, aku anak yang begitu kalian sayangi kini menjadi sasaran amarah kalian.

Akan tetapi, aku tidak apa-apa. Ya, aku baik-baik saja. Aku sudah senang di sini. Dari tempat ini, aku bisa melihat kalian. Aku jaga kalian dari sini, ya, Ayah, Bunda ....

Maaf. 

Maafkan aku yang terlahir menjadi anak yang tidak berguna.

Sungguh aku lelah dengan semua ini.

Aku berhenti, ya? Terima kasih telah merawatku dari kecil. Terima kasih telah memberikan kebahagiaan yang begitu besar bagiku. Hidup tenang dan Bahagia, ya, kalian berdua. Jangan bertengkar terus.

Aku sayang Ayah dan Bunda.

 

Tertanda, Shabira. 

Putri kesayangan Ayah dan Bunda.

 

Ayah Shabira hanya bisa menatap kertas di tangannya. Kertas yang telah dihias dan ditulis rapi oleh putrinya tersayang. Sepanjang hidupnya, pria paruh baya itu tidak pernah menangis. Namun, malam itu air dari matanya menetes jatuh tanpa bisa dicegah. Dipeluknya kertas tersebut. Sungguh hatinya telah hancur berkeping-keping setelah membaca surat dari putrinya itu. Ia menatap kembali kertas itu lamat-lamat, mengingat betapa buruk perlakuan yang diterima putri satu-satunya itu.

Lalu dengan cepat, ayahnya Shabira bergegas bangkit dari tempatnya duduk. Ia berteriak memanggil istrinya, untuk mengajak pergi menuju tempat yang tadi disebutkan putrinya di dalam surat.

Pria itu hanya bisa berdoa. Semoga semua masih belum terlambat. Sungguh, ia tidak ingin kehilangan putri yang sangat disayanginya itu.

 

 

 

Anggun Noviyanah

Pelajar kelas 10 kuliner 2 di SMKN 57 Jakarta ini memiliki hobi menonton film serta membaca cerita dari webtoon ataupun wattpad. Anak pertama dari tiga bersaudara ini dapat dihubungi melalui instagram: @expoguns

: tanpa label

KOMENTAR

Apabila ada yang ingin dikonsultasikan, silakan untuk menghubungi kami.